Open Source Lebih Semarak di Daerah


Open Source Lebih Semarak di Daerah

Gerakan Indonesia Go Open Source (IGOS), gaungnya memang tidak seramai dulu. Namun yang terjadi sebenarnya, di balik itu ada banyak aksi yang kian menumbuhkan minat menggunakan software open source.
Demikian dikatakan penggiat open source I Made Wiryana. Salah satu contohnya, pemerintah rutin menggelar Indonesia Open Source Award (IOSA) yang berdampak positif, terutama di kalangan pemerintah daerah (Pemda)

“Bukan sekadar award-nya yang dilihat. Tapi ada banyak proses di balik itu. Misalnya pelatihan ke berbagai Pemda. Itu tidak kelihatan tapi dampaknya besar,” kata Made saat ditemui di Universitas Gunadarma, Depok.

Selaku ketua IOSA, pria berkacamata ini melihat langsung bagaimana semakin banyak Pemda memanfaatkan open source. Bahkan, sejumlah Pemda kini memiliki roadmap dan aturan bahwa aplikasi yang mereka gunakan harus open source.

“Menariknya, saya menemukan bahwa Pemda atau instansi di daerah itu lebih aware akan penggunaan open source,” kata Made. Mereka inilah yang menyumbang pertumbuhan pengguna open source di Indonesia. Apa alasannya?

Alasan pertama, karena kebanyakan Pemda dananya terbatas. Namun dengan keterbatasan dana tersebut, mereka harus menggunakan software legal. Kedua, mereka pernah mengalami kasus ketika software dibuat oleh pihak luar memakai aplikasi propietary, ketika habis lisensinya maka proyek mereka mati karena tidak punya source code-nya. Di samping itu, motivasi mereka adalah melibatkan sumber daya lokal.

“Bagi Pemda, itu akan berdampak pada pendapatan asli daerah yang bagus. Mereka bisa mengembangkan industri lokal. Daripada dananya dibayarkan ke vendor di Jakarta misalnya, lebih baik mereka develop agar berputar di daerah mereka. Itu mereka sudah aware,” terang Made.

Jadi, bila dibandingkan dengan pemerintah pusat, Made berpendapat animonya memang lebih tinggi di Pemda. “Tidak tahu juga ya. Mungkin karena punya dana lebih, dan akses ke vendor lebih mudah, seringkali mereka tidak berpikir efisiensi,” tuturnya.

Dikatakan Made, yang terpenting adalah menggunakan software legal. Di sejumlah badan pemerintah memang masih ada yang menggunakan software propietary, sepanjang dananya mencukupi untuk membayar lisensi, mungkin tidak masalah.

“Pemerintah itu kan arahnya mengharuskan kita menggunakan software legal. Keterbatasan dana membuat orang di daerah berpikir efisiensi. Karena harus menggunakan software yang terjangkau, performa baik namun tentu saja harus legal,” simpulnya.

Sumber : Detikinet

Perlukah Open Source Masuk Kurikulum


Perlukah Open Source Masuk Kurikulum

Sebagai salah satu lembaga pendidikan, kampus dan sekolah bisa menjadi awal pengenalan melek open source. Namun kenyataannya, lembaga pendidikan sudah bergantung pada software propietary. Lantas, apakah perlu open source masuk dalam kurikulum?
“Paling tidak ada kampus agreement. Misalnya, ya sudah diwajibkan saja. Dan bagi mereka yang belajar itu kita sediakan laboratorium pelatihannya,” saran penggiat open source sekaligus dosen bidang IT I Made Wiryana.

Hal ini dikatakan Made sudah berjalan cukup lama. Dia memang tidak punya data, berapa banyak kampus yang mewajibkan open source. Namun pria berkacamata ini memberikan gambaran, setidaknya Kementerian Riset dan Teknologi punya semacam organisasi open source beranggotakan 54 kampus di seluruh Indonesia.

“Minimal itulah, jadi mereka ini yang mengembangkan open source dan mengajak mahasiswa aktif menggunakannya,” ujarnya.

Dia membagi pengalamannya, di kampus tempat dia mengajar, aturan ini diterapkan. Made mewajibkan mahasiswanya menggunakan software legal dan jika tak sanggup beli aplikasi propietary, harus menggunakan open source.

“Saya tak segan memberikan nilai nol bagi mahasiswa yang menyerahkan tugas pakai aplikasi bajakan. Karya penulisan, membuat tools, kita mewajibkan pakai open source,” terangnya.

Karena menurut Made, ujung tombak pengadopsian itu ada di lembaga pendidikan. Jika lembaga pendidikan tidak mengimpelementasikan etika, dalam hal ini aspek legal, maka orang pun tidak akan peduli.

Diakui Made, sejumlah vendor memang mendekati timnya, agar software propietary mereka dimasukkan dalam pembelajaran. Namun dia harus menolak karena sebagai pengajar, itu akan mendorong mahasiswanya melakukan tindakan ilegal.

“Kenapa? Karena saya tahu mereka tidak bisa beli. Saya yakin tidak ada mahasiswa yang membeli lisensi, paling murah USD 500 itu mahal bagi mereka. Oke lah mampu, tapi mahasiswa tidak rela menghabiskan uang untuk itu,” ujarnya.

Lagipula dikatakannya, aplikasi open source punya manfaat lain, terutama bagi mereka yang berlatar belakang IT. Menggunakan open source, membuat mahasiswa lebih pintar karena memungkinkan mereka belajar lebih dalam dan mengulik sebuah aplikasi.

Sumber : Detikinet