2 Teleskop Mata-mata AS Kini di Tangan NASA


2 Teleskop Mata-mata AS Kini di Tangan NASA

Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menerima hibah dua teleskop mata-mata dari Badan Pengintai Nasional atau National Reconnaissance Office (NRO)–yang bertugas merancang, membangun, serta mengoperasikan satelit mata-mata milik pemerintah AS.

Diklaim, dua teleskop tersebut masing-masing punya kemampuan lebih kuat daripada teleskop Hubble milik NASA–yang sudah 22 tahun digunakan dan rajin mengirim gambar menakjubkan dari luar angkasa.

Dua satelit NRO tersebut punya cermin utama yang lebarnya 2,4 meter, menyaingi yang terpasang di teleskop Hubble. Ia juga punya cermin sekunder untuk mempertajam gambar.

Seperti dimuat Space.com, dua alat mata-mata itu awalnya dibuat untuk misi pengintaian dari luar angkasa NRO dengan target Bumi. Oleh NASA ia akan dipakai untuk kepentingan penelitian astronomi.

Baik NASA atau NRO tidak merinci secara pasti desain asli atau misi mata-mata yang pernah dilakukan dua teleskop itu. Juga, negara “nakal” mana yang jadi targetnya.

Meski gratis, ada sejumlah persoalan yang harus diselesaikan sebelum bisa menggunakannya. Yang utama, adalah soal dana.

Pertama, dua teleskop itu tak punya kamera yang dibutuhkan NASA. Juga, karena ia belum mengangkasa, perlu duit banyak untuk meluncurkannya. Tak hanya itu, sekali diluncurkan ia harus punya orang-orang untuk mengoperasikannya dan kelompok ilmuwan yang meneliti dan menerjemahkan data yang ia kumpulkan.

Kabar buruknya, NASA tak punya dana cukup untuk itu. Anggaran lembaga itu sedang tersedot untuk teleskop James Webb yang dirancang untuk meneropong jauh luar angkasa–yang punya sejarah panjang 13,7 miliar tahun. Oleh karena itu, dijadwalkan, dua teleskop yang belum diberi nama itu baru akan mengangkasa pada tahun 2020.

NASA berharap bisa menggunakan salah satu teleskop barunya untuk mengungkap misteri “dark energy“–“energi gelap” yang diyakini para ilmuwan bertanggung jawab mempercepat ekspansi alam semesta.

Menurut NASA, dua tampilan teleskop itu punya kemiripan dengan teleskop Hubble: bentuknya silinder dan punya insulasi reflektif yang mengkilap.

Sementara itu, teleskop Hubble yang diluncurkan tahun 1990 berukuran sebesar bus sekolah. Sudah lama ia menjadi ikon asronomi. Namun, teropong luar angkasa itu makin menua. Sejak diluncurkan, ia telah diperbaiki atau di-upgradeselama lima kali, terakhir kali pada tahun 2009 lalu.

Pada akhirnya, suatu saat nanti, Hubble akan dinonaktifkan dan dicemplungkan ke atmosfer Bumi, di atas Samudera Pasifik.

Sumber : Space.com

Gletser di Greenland Bisa Meluas dengan Cepat. Asal…


Gletser di Greenland Bisa Meluas dengan Cepat. Asal…

Gletser dan lapisan es di kutub utara ataupun selatan menyusut dengan cepat bersama dengan perubahan iklim yang membuat Bumi semakin panas. Namun, temuan terbaru para peneliti dari University of Copenhagen mengungkapkan, es ataupun gletser, khususnya di kawasan Tanah Hijau (Greenland) bisa pulih dalam waktu cepat. Syaratnya, temperatur harus turun.

Dalam laporan yang dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience, para peneliti menyebutkan, mereka menggunakan foto-foto udara yang diambil pada tahun 1920-an, 1930-an, dan pasca perang dunia kedua. Foto ini kemudian dikombinasikan dengan citra satelit modern, serta juga penelitian lapangan.

“Kami berhasil mengetahui evolusi glasial selama 80 tahun terakhir. Ini merupakan pertama kalinya gletser di Greenland diamati,” kata Anders Bjork, peneliti dari University of Copenhagen. “Hasilnya, ternyata gletser bisa pulih dalam waktu singkat jika iklim berubah dan temperatur menurun. Periode ini pernah terjadi setelah tahun 1940-an,” ucapnya.

Sebanyak 132 gletser dalam kawasan pesisir sepanjang total 600 kilometer di tenggara Greenland, baik gletser yang berujung di daratan ataupun di samudera, diamati. Benar saja, foto-foto bersejarah tersebut ternyata sangat berharga karena bisa digunakan untuk mengamati sejarah perubahan gletser.

“Pada awal 1920 dan 1930-an, temperatur cukup tinggi, sama seperti yang saat ini terjadi. Dan ini memberikan dampak mencairnya gletser. Saat itu, banyak gletser yang mencair dengan kecepatan serupa atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan mencairnya gletser selama 10 tahun terakhir,” kata Kurt Kjaer, peneliti dari Natural History Museum of Denmark.

“Dan saat dunia menjadi lebih dingin, di antara tahun 1950-an dan 1960-an, gletser benar-benar meluas,” ucapnya.

Kjaer menyebutkan, jika kenaikan temperatur seperti saat ini berlanjut di Greenland, maka bisa dipastikan kita akan menghadapi masalah besar terkait melelehnya gletser. “Kita sudah melihat ini terjadi di mana gletser telah menghancurkan kehidupan laut, mengubah arus samudera, dan mempengaruhi stabilitasnya,” sebutnya.

“Satu hal penting yang kami temukan adalah bahwa perubahan yang terjadi tidak saja lokal, tetapi berlangsung di seluruh kawasan,” kata Kjaer.

Temuan tim peneliti Denmark ini sontak menarik perhatian dunia internasional karena Greenland merupakan kawasan penting di belahan bumi utara yang sangat mempengaruhi iklim belahan bumi lainnya. Termasuk perubahan pada kondisi glasial yang ada kaitannya dengan peningkatan permukaan air laut.
Sumber: PhysOrg

Kura-kura Purba Berukuran Sebesar Mobil


Kura-kura Purba Berukuran Sebesar Mobil

Fosil kura-kura purba seukuran mobil ditemukan di kawasan pertambangan batubara wilayah Kolombia.

Cangkang dari kura-kura dari masa 60 juta tahun yang lalu sanggup menjadi sebuah kolam renang mini. Sementara tengkoraknya berukuran sebesar bola.

“Kura-kura ini merupakan yang terbesar yang pernah ditemukan di area ini dari masa yang sama dan ini memberikan kita bukti pertama adanya kura-kura air tawar raksasa,” ungkap Edwin Cadena, peneliti dari South Carolina State University, AS, yang terlibat riset ini.

Kura-kura purba raksasa itu dinamai Carbonemys cofrinii. Penemuan jenis ini dipublikasikan di Journal of Systematic Palaentology pada Jumat (18/5/2012) lalu.

Kerabat Carbonemys cofrinii yang masuk genus yang sama tapi berukuran lebih kecil hidup sezaman dengan dinosaurus. Carbonemys cofrinii baru muncul 5 juta tahun yang lalu, saat reptil purba merajai. Satwa yang hidup sezaman dengannya adalah Titanoboa cerrejonensis, ular terbesar.

Cadena mengatakan, kura-kura ini bisa berukuran besar karena beberapa faktor, seperti predator yang sedikit, habitat yang lebar, serta ketersediaan makanan yang melimpah. Habitat jenis kura-kura ini kala itu lebih hangat dari sekarang.

Kura-kura biasanya memakan tumbuhan kecil. Namun, dengan ukurannya yang besar, Carbonemys cofrinii mampu memakan mollusca, kura-kura yang lebih kecil dan bahkan buaya.

Sumber : DISCOVERY

Apa yang Terjadi Jika Bumi Berhenti Berputar


Apa yang Terjadi Jika Bumi Berhenti Berputar

Bumi tidak ajeg, terus berputar pada sumbunya mengelilingi Matahari. Rotasi mengontrol aktivitas manusia, mengikuti gelap dan terang, membagi kehangatan Matahari ke seluruh belahan dunia.
Perputaran Bumi juga menentukan medan magnetik, pola cuaca dan sirkulasi di lautan. Lalu apa yang terjadi jika Bumi berhenti berputar?

“Yang terjadi adalah kekacauan total, semuanya berantakan,” kata Louis Bloomfield, fisikawan dari University of Virginia seperti dimuat situs sains Life’s Little Mysteries.. Sebagian besar manusia akan tenggelam, mati lemas, tewas terpanggang atau beku.

Kabar baiknya: itu tak berarti kiamat. Sebagian manusia yang kebetulan tinggal di empat bagian kecil Bumi akan selamat, bahkan berevolusi dengan cepat sebagai respon dari perubahan lingkungan yang dramatis.

Hebatnya lagi, Bumi akan berubah bentuk jika berhenti berputar pada sumbunya. Rotasi Bumi membuat bagian tengah planet ini menonjol, sekitar 26 mil di sekitar katulistiwa daripada jarak antar kutub.

Jika berhenti berputar, bagian Bumi yang padat tak lantas berpendar. Yang paling terpengaruh adalah bagian lautan. “Lautan akan bergeser dari katulistiwa ke arah kutub, meninggalkan tulang kering permukaan bumi di dekat khatulistiwa. Sementara  wilayah kutub akan tenggelam,” kata Bloomfield.

Demikian pula dengan atmosfer, menebal di wilayah kutub dan menipis di katulistiwa. Hanya mahluk hidup di pertengahan garis lintang mendapatkan tekanan atmosfer yang tepat untuk tetap hidup.

Lebih jauh lagi, nyala matahari abadi akan menyinari sebagian Bumi. Akibatnya, tanaman mati, tanah merekah kekeringan. Sementara, belahan bumi yang lain akan tenggelam dalam kegelapan yang dingin, tanah menyerupai tundra beku. “Saat itu manusia harus bisa pindah ke wilayah transisi,” kata Rhett Allain, fisikawan dari University of Southeastern Louisiana.

Gerak manusia akan terbatas pada “pita tipis” di wilayah transisi panas-dingin, di mana Matahari selalu akan muncul tepat di atas atau di bawah cakrawala.

Di sana, temperatur relatif  moderat, namun pola cuaca dan iklim saat Bumi berhenti berputar, bahkan tak bisa ditebak oleh para ilmuwan masa kini.

Dari seluruh wilayah Bumi hanya ada empat bidang tanah kecil yang memiliki tekanan atmosfer tepat juga suhu yang cocok bagi manusia. Dua di belahan Bumi utara dan dua di belahan Selatan.

Akhirnya, hanya ada empat ‘suku’ manusia yang selamanya dipisahkan oleh kondisi ekstrem di antara mereka. Perbedaan lingkungan antara empat tempat itu akan mempengaruhi evolusi mahluk di sana, sesuai dengan kondisi lingkungannya.

Dan ini kabar buruknya: Bumi sejatinya akan berhenti berotasi. Meski mungkin tak bakal terjadi dalam waktu dekat. Saat Bulan “terkunci” tak berputar lagi, tak ada pasang-surut di Bumi. Lalu, beberapa miliar tahun lagi, giliran kita mengunci Matahari.

Sumber : Vivanews

Dinosaurus Ini Tidak Makan 86 Juta Tahun


Dinosaurus Ini Tidak Makan 86 Juta Tahun

Apabila ada makhluk yang tidak makan selama 86 juta tahun, maka mungkin Anda menduga dia akan sangat kelaparan. Ternyata, tidak. Bakteri tangguh yang ditemukan ilmuwan di dasar laut Pasifik ini hampir dapat bertahan tanpa makanan.

Makhluk bawah laut itu ditemukan peneliti saat pengeboran ke lapisan tanah liat merah lunak di bawah dasar Pasifik. Daerah ini hampir tidak dijamah makhluk laut lain. Beberapa planton yang mati di dalam air telah larut sebelum potongan itu bisa mencapai dasar laut.

Sangat jarang partikel tunggal mendarat di sana. Peneliti dari Universtias Aarhus, Denmark, Hans Roy mengatakan, “Coba Anda bayangkan bahwa sebutir sendimen jatuh di permukaan. Butuh waktu ribuan tahun sebelum butiran berikutnya akan sampai di sana.”

Roy bersama tim ekspedisi pada 2009 mengambil sampel sendimen purba dan menemukan bakteria hidup di lapisan tanah itu. Temuan ini sangat mengejutkan mengingat hampir tidak ada nutrisi untuk makan di bawah sana.

“Mereka meninggalkan permukaan 86 juta tahun lalu dengan bekal makanan. Mereka masih saja makan dari situ,” ujar Roy seperti dilansir dari Dailymail.co.uk.

Roy menggambarkan kondisi itu seperti membagi pie berkali-kali tanpa ada yang memakan sisa terakhir. Tim Roy menyatakan temuan ini kemungkinan makhluk dengan metabolisme paling lambat. Ditambah kondisi tidak ada oksigen dan nutrisi yang mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Roy belum bisa menentukan umur bakteria tersebut. Mereka diperkirakan telah bereproduksi secara lambat sejak zaman dinosaurus. Makhluk ini bisa berumur jutaan tahun. Mereka bertahan dengan terus memperbarui diri secara cepat untuk memperbaiki kerusakan karena penuaan.

Sumber : DailyMail

Manusia Pertama di Bulan Akhirnya Buka Suara


Manusia Pertama di Bulan Akhirnya Buka Suara

Sebagai orang pertama yang menginjakkan kaki di Bulan, namanya akan selalu diingat dari generasi ke generasi. Ditulis dengan tinta emas dalam sejarah penjelajahan manusia ke luar angkasa. Namun, tak banyak orang tahu, Neil Armstrong sangat sulit diwawancarai.
Adalah Direktur CEO Certified Practicing Accountants (CPA) Australia, Alex Malley yang berhasil membuat Sang Astronot buka mulut selama satu jam, salah satu tentang perjalanannya ke Bulan.

Dalam video wawancara yang diunggah ke situs CPA, Armstrong membuka rahasia, bagaimana dulu ia berpikir, misi Apollo 11 yang berhasil membawanya ke Bulan hanya punya peluang 50 persen untuk mendarat ke permukaan satelit Bumi itu. Juga tentang kekecewaannya pada ambisi Pemerintah AS terkait Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) tak seantusias pada tahun 1960-an.

Padahal, “NASA menjadi salah satu investasi publik yang paling berhasil dalam hal memotivasi siswa untuk berbuat yang terbaik untuk meraih apa yang bisa mereka capai,” kata Armstrong seperti dimuat Guardian, 23 Mei 2012.

Saat masih kecil, ia mengaku terpesona dengan kata “penerbangan”. “Sejak aku di sekolah dasar. Karena itulah aku ingin masuk ke dunia itu,” dia menambahkan.

Impian Armstrong untuk terbang tercapai. Ia menjadi pilot pesawat tempur di Perang Korea, dan bekerja menjadi pilot tes saat Presiden John F Kennedy mengeluarkan tantangan pada ilmuwan untuk menerbangkan manusia ke Bulan pada 1962 silam.

Kala itu, AS baru bisa mengirim Alan Sheppard 100 mil di atas permukaan Bumi selama 20 menit. “Kesenjangan antara 20 menit di atas Bumi dengan ambisi ke Bulan adalah sesuatu yang hampir di luar dugaan secara teknis kala itu,” kata dia.

Setelah itu, selama bertahun-tahun, NASA mengembangkan misi Apollo. “Sebulan sebelum peluncuran Apollo 11, kami sangat percaya diri mencoba turun ke permukaan Bulan,” kata dia. “Saat itu, aku berfikir kami memiliki peluang 90 persen untuk kembali ke Bumi dengan selamat, namun peluang untuk mendarat dalam percobaan perdana hanya 50 persen.”

Kala itu, ada banyak hal yang tidak diketahui tentang orbit Bulan dan kondisi permukaannya. “Jika ada sesuatu yang tak kami mengerti saat itu, kami harus membatalkan misi dan pulang ke Bumi tanpa melakukan pendaratan.”

Saat Armstrong dan Buzz Aldrin mengendalikan pesawat Eagle ke permukaan Bulan, kemudi otomatis yang dikendalikan komputer berniat menurunkan mereka ke wilayah pinggir kawah besar dengan lereng terjal dengan batu-batu besar. “Bukan tempat yang baik untuk melakukan pendaratan,” kata Armstrong.

Lalu, ia mengambil alih kemudi dan menerbangkan pesawat secara manual. “Aku menerbangkannya seperti helikopter ke arah barat, ke wilayah yang lebih halus yang tak banyak batunya, sebelum bahan bakar habis,” cerita dia. Bahan bakar yang tersisa hanya bisa digunakan untuk terbang selama 20 detik.

Saat para astronot mendarat ke Bulan, ia menggumamkan kalimatnya yang abadi, “satu langkah kecil bagi seorang manusia, sebuah lompatan besar bagi umat manusia.”

Apa yang ia rasakan dan pikirkan saat itu? Armstrong mengatakan, ada banyak yang harus dikerjakan saat itu ketimbang berpikir atau bermeditasi tentang keberadaannya.

Kini bertahun-tahun setelah keberhasilannya meninggalkan tapak kaki di Bulan, Armstrong mengaku sedih dengan posisi NASA yang dikendalikan pemerintah. “Kita ada dalam situasi di mana Kongres dan Gedung Putih saling memaksakan pendapat mereka tentang penjelajahan luar angkasa. NASA bagai shuttlecock,” kata dia.

Sementara, Malley yang mewawancara Armstrong tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada astronot itu. “Aku tahu satu hal orang tak tahu tentang Armstrong: ayahnya seorang auditor,” kata dia. “Bagi seorang pemimpin atau yang ingin menjadi pemimpin, mendengarkan ucapan Neil Armstrong lebih baik dari mendengarkan kuliah MBA yang ada saat ini,” kata dia.

Pantau Langsung Hutan Indonesia


Pantau Langsung Hutan Indonesia

Sangat miris mendapati kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara produsen karbon terbesar di dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan China. Lebih parah lagi, kedua negara tadi melepas karbon sebagai akibat dari kegiatan industri, sementara negara kita dikarenakan kerusakan hutan.

Hal ini menjadi salah satu titik tolak Rhett A. Butler, pemilik situs Mongabay sekaligus seorang pemerhati lingkungan untuk merilis situs Mongabay-Indonesia (http://www.mongabay.co.id) pekan lalu (19/05). “Saya beruntung memiliki orang tua yang berbisnis di bidang agensi perjalanan sehingga sejak kecil dapat melihat berbagai keindahan di dunia, termasuk hutan-hutan tropis,” paparnya dalam pembukaan situs yang berlangsung di salah satu mal ternama di Jakarta.

Sayang, dalam perkembangannya, lanjut Butler, banyak terjadi perubahan atas kondisi hutan-hutan yang pernah ia lihat. Saat ingin menuliskan keberadaan hutan di dunia dalam bentuk buku, pihak penerbit menyarankan agar Butler membuatnya tanpa menyertakan foto-foto mengingat berbagai perubahan telah terjadi.

Inilah titik tolaknya menggagas situs Mongabay pada 1999. Lengkap dengan potret keberagaman hutan. Dalam perkembangannya, layanan pun menjadi multi bahasa, tidak sebatas bahasa Inggris. Seperti tagalog (Filipina) dan magyar (Hongaria).

Bahasa kita, juga menjadi perhatiannya, utamanya mengingat kondisi hutan Indonesia semakin memprihatinkan. “Lewat situs informasi dan edukasi Mongabay-Indonesia, kondisi hutan kita dipaparkan secara transparan,” tambah Ridzki R Sigit, koordinator Mongabay-Indonesia. “Selain isu hutan dan emisi Indonesia, kami juga menyajikan informasi seputar keanekaragaman hayati serta pertanian.”

Harapannya, dengan kehadiran situs hijau ini seluruh masyarakat Indonesia dapat turut  memantau keberadaan hutan bahkan turut memberikan kontribusi positif untuk mempertahankan tutupan hutan tropis kita. Apalagi, saat peresmian situs Mongabay-Indonesia juga diputar sebuah film dokumenter bertajuk “Masyarakat Adat, Penjaga Hutan Sejati Indonesia.”

Sejatinya, kita mesti merasa bangga, bahwa hutan tropis Tanah Air merupakan salah satu yang tersisa di dunia. Namun di sisi lain, tanpa pengelolaan secara arif, dikhawatirkan tutupannya akan terus berkurang. Saat ini, Papua merupakan kantong hutan terbesar di Indonesia, sedangkan Jawa—sebagai pulau terpadat di dunia—merupakan daerah dengan hutan paling sedikit, jumlahnya hanya lima persen dibanding daratannya.

Sumber : National Geographic Indonesia

Kembalikan Alam Pada Kearifan Lokal


Kembalikan Alam Pada Kearifan Lokal

Bukti-bukti di alam membuktikan jika aset alami Bumi jauh lebih baik jika berada di bawah kontrol masyarakat lokal. Penanganan dengan kearifan lokal juga menjamin keberlangsungan hutan, air, tanah, dan sumber daya alam lainnya.

Selain itu, kebijakan masyarakat yang akrab dengan alamnya mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan lingkungan aman di area rural maupun urban. Demikian pendapat yang disampaikan Direktur The International Institute for Environment and Development (IIED), Camilla Toulmin, dalam makalah yang disusun menyambut Rio Summit (Rio 20+), di Brasil, 20-22 Juni 2012 mendatang.

Menurut Toulmin, ada tiga aksi yang harus dilakukan para pemimpin negara-negara di dunia untuk bisa melakukan pembangunan berkelanjutan. Mengembalikan aset pada kearifan lokal jadi satu dari tiga cara tersebut. “Saat Pemerintah mengakui hak dan pengaturan dari komunitas lokal, itu sama saja dengan menyetujui keputusan berjangka panjang dan manajemen berkelanjutan dari aset-aset penting,” kata Toulmin.

Cara kedua, tambah Toulmin, adalah dengan penilaian realistis antara untung-rugi biaya lingkungan. Nilai yang ada sekarang ini cenderung tidak seimbang dan hanya menggunakan pendapatan domestik bruto (PDB) sebagai patokan. Padahal PDB dianggap tidak mewakili kesejahteraan manusia dan bisa menutupi pembangunan yang tidak berkelanjutan.

“Langkah pertama dan terpenting adalah meningkatkan harga karbon dan mengakhiri subsidi bahan bakar fosil,” kata Toulmin.

Cara terakhir adalah dengan memperkuat ketahanan dengan cara penetapan kebijakan berjangka panjang. Atau dengan menetapkan aktivitas ekonomi beragam. Ini untuk mencegah adanya dampak guncangan ekonomi dan sosial yang saat ini rentan sekali terjadi. “Suplai energi desentralisasi, pendekatan baru untuk mengatasi padatnya penduduk, atau model bisnis yang berbeda, jadi penghalang untuk mencegah guncangan yang biasanya menghantam komunitas,” kata Toulmin lagi.
Sumber: IIED

Gempa Vulkanik Dijadikan Alat Deteksi Gunung Meletus


Gempa Vulkanik Dijadikan Alat Deteksi Gunung Meletus

Gempa bumi sering kali menjadi pertanda letusan gunung berapi, contohnya seperti yang terjadi di gunung St. Helens, Amerika Serikat, pada tahun 1980 lalu. Namun, upaya selama berdekade-dekade untuk memanfaatkan guncangan itu sebagai pendeteksi waktu dan kekuatan letusan gunung berapi terbukti gagal.

Tetapi kini sejumlah peneliti dari berbagai disiplin ilmu telah mengembangkan model yang bisa membantu memberi peringatan akan letusan berbahaya, beberapa jam sebelum terjadi. Dari studi yang dilakukan para peneliti dari University of Leeds, Inggris tersebut, diketahui bahwa jawabannya ada di bagaimana perilaku magma.

Magma akan terpecah jika ditarik dengan cepat. Saat naik di dalam saluran utama gunung berapi, magma akan membuat retakan-retakan dalam. Retakan ini melumerkan magma, membantunya terpecah di titik-titik lain, mengalir lebih cepat, dan menyebabkan semakin banyak pelumeran terjadi.

Deretan kejadian pecahnya magma dapat menjelaskan gelombang gempa bumi berfrekuensi rendah yang pada penelitian-penelitian terdahulu telah terdeteksi dari gunung berapi. “Analisa terhadap guncangan-guncangan ini dapat menentukan seberapa cepat magma bergerak naik dan kemudian bisa ditentukan untuk memprediksi letusan,” kata Jurgen Neuberg, geofisikawan dari University of Leeds yang memaparkan laporannya di jurnal Geology.

Sebuah model kemudian dikembangkan oleh tim lain mengingat guncangan yang diakibatkan oleh magma yang berada di rongga-rongga gunung bergerak bolak balik seperti memantul-mantul. Menurut Mark Jellinek, ketua tim peneliti yang merupakan volkanolog dari University of British Columbia, kecepatan magma bergoyang juga sama dengan frekuensi dominan sebagian besar guncangan vulkanik.

Saat letusan dahsyat semakin dekat, model yang dibuat mengindikasikan bahwa frekuensi guncangan vulkanik akan meningkat dalam pola yang bisa diprediksi. Letusan eksplosif akan menghasilkan gas yang akan menyempitkan kolom magma menjadi lebih tipis, kaku, dan bergetar lebih cepat.

Kedua tim peneliti menyatakan, mereka akan terus memperbaiki pemodelan yang mereka buat dengan menambahkan data-data dari gunung berapi. Upaya untuk memprediksi letusan eksplosif di masa depan akan melihat pula faktor perubahan pada emisi gas serta bagaimana gunung berapi berubah secara fisik sebelum letusan terjadi.

“Jika kita bisa memanfaatkan seluruh data-data ini secara bersama-sama, kita kemungkinan bisa mencegah datangnya tragedi,” kata Neuberg.
Sumber: Scientific American

Subak di Bali Diakui Sebagai Warisan Budaya Dunia


Subak di Bali Diakui Sebagai Warisan Budaya Dunia

Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuwan, dan Budaya, UNESCO, mengakui budaya Subak dari Bali sebagai bagian dari warisan dunia. Subak dianggap sebagai sistem irigasi yang dapat mempertahankan budaya asli masyarakat Bali. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Windu Nuryanti, mengutarakan bahwa sistem pengairan Subak dari masyarakat Bali telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia (World Heritage).

Masih menurut Windu, keputusan resmi akan ditetapkan melalui sidang ketok palu di St Petersburg, Rusia, di 20 Juni 2012 mendatang. “Bahwa budaya Subak ini dianggap memiliki Outstanding Universal Values. Jadi memiliki nilai budaya yang luar biasa, yang masih bisa ditunjukan bukti-buktinya sebagai kultur hidup yang diikuti oleh masyarakat adat di Bali. Subak adalah sistem kehidupan yang masih diikuti oleh masyarakat,” kata Windu.

Ia pun menambahkan, Subak dinilai menciptakan perekat sosial pada masyarakat Bali. Sebelumnya beberapa jenis warisan budaya Indonesia telah diakui oleh UNESCO, di antaranya batik, keris, Candi Prambanan, juga alat musik angklung serta karinding.

Penetapan Subak ini bertepatan dengan 40 tahun Konvensi Warisan Budaya Dunia. Konvensi yang dimulai pada tahun 1972 ini merupakan pakta internasional untuk melestarikan budaya dan warisan alami yang tersebar di penjuru dunia.

Pakta ini berbeda dengan perjanjian internasional lainnya. Karena mengakui adanya interaksi manusia dengan alam dan bagaimana cara menyeimbangkan keduanya. Untuk perayaan istimewa tahun ini, Konvensi Warisan Budaya Dunia merayakan pembangunan berkelanjutan dan peran dari komunitas lokal.
Sumber: ANTARA, KBR68H, Unesco.org