Mikroba Laut Dalam Bernapas di Lingkungan Minim Oksigen


Mikroba Laut Dalam Bernapas di Lingkungan Minim Oksigen
Lingkungan laut dalam sangat minim nutrisi. Namun, di lingkungan ini, mikroba laut dalam bertahan hidup dari sejak 86 juta tahun yang lalu, sebelum dinosaurus punah.

Ilmuwan asal Aarhus University di Denmark yang meneliti komunitas mikroba di Samudera Pasifik menemukan bahwa makhluk hidup tersebut bisa hidup di lingkungan minim oksigen.

“Kita tak bisa mengetahui pada tingkat berapa mereka bermetabolisme. Ini sangat lambat, mirip seperti mati suri,” kata Hans Roy, peneliti, seperti dikutip New York Times, Senin (21/5/2012).

Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Science baru-baru ini, Roy mengukur konsentrasi oksigen di lapisan sedimen di lepas pantai Hawaii dengan kedalaman 30 meter di bawah permukaan.

Roy mengukur jumlah oksigen yang berdifusi ke setiap lapisan sedimen. Jumlah oksigen yang “hilang” menunjukkan jumlah yang dikonsumsi mikroba yang ada.

Roy menemukan, mikroba hanya mengkonsumsi 0,001 femtomole oksigen setiap harinya. Lebih mudahnya, oksigen yang dikonsumsi mikroba ini selama 10 tahun sama dengan sekali hirupan manusia.

“Mikroba ini mampu hidup dengan ketersediaan energi yang sangat terbatas. Seluruh komunitas sepertinya berada pada lingkungan tepat di batas kelaparan,” kata Roy.

Komunitas mikroba yang diteliti hingga kini belum banyak diketahui. Dan karena bergerak lambat, semakin sulit bagi ilmuwan untuk mempelajarinya.

Sumber : New York Times

Gurita Satwa Cerdas Menyembunyikan Diri


Gurita Satwa Cerdas Menyembunyikan Diri
Gurita memiliki cara cerdas untuk menyembunyikan diri. Satwa ini mengambil karakter suatu objek spesifik di lingkungannya untuk menghindar dari serangan predator.

“Gurita disebut sebagai master kamuflase. Gurita bisa mengubah warna, pola, dan tekstur kulitnya dalam sekejap,” kata Noam Josef dari Ben-Gurion University di Israel seperti dilansir situs Livescience, Rabu (23/5/2012).

Josef mengatakan Dengan meniru fitur objek tertentu di lingkungannya, gurita bisa menghasilkan kamuflase efektif yang menipu berbagai jenis predator.

Ada beragam cara satwa melakukan kamuflase. Ada yang hanya meniru objek tertentu di lingkungan, ada pula yang meniru pola dan warna lingkungan secara keseluruhan.

Untuk melihat cara gurita melakukan komuflase, peneliti melihat kenampakan 11 gurita dari 2 spesies, yakni O. cyanea and O. vulgaris di Laut Mediterania dan Laut Merah.

Program komputer akan mencocokkan karakter gurita dengan lingkungannya. Hasil analisis menunjukkan bahwa gurita hanya cocok dengan bagian lingkungan tertentu saja.

Josef menambahkan, gurita tidak meniru suatu objek secara persis, tetapi memilih fitur tertentu dari objek umum yang dijumpai di lingkungannya.

“Keuntungan dari mekanisme ini adalah kecocokan dengan karakter di lokasi yang relatif luas, walaupun level kecocokan dengan objeknya rendah,” kata Josef.

Gurita dikenal mampu mengubah bentuk, warna, dan pola dari suatu objek di lingkungannya. Ciri ini unik mengingat sebenarnya gurita adalah makhluk buta warna.

Sumber : LIVESCIENCE

Ditemukan, Katak Berwarna seperti Jeruk


Ditemukan, Katak Berwarna seperti Jeruk

Katak berwarna kuning seperti jeruk ditemukan di bagian barat Panama. Penemuannya dipublikasikan di jurnal Zookeys baru-baru ini.
Ilmuwan terkejut ketika menemukan dan memegang katak ini. Mereka menjumpai bahwa warna kuning katak melekat atau tertinggal di jari mereka. Katak jeruk ini dinamai Diasporus citrinobapheus. Pada masa dewasanya, katak ini hanya berukuran 2 cm sehingga sulit ditemukan.

“Walau kami mengetahui bahwa panggilan kawin pejantan spesies ini berbeda dari yang pernah kami dengar sebelumnya, usaha besar dibutuhkan sampai akhirnya bisa menjumpainya di vegetasi,” kata Andreas Hertz, pemimpin tim peneliti dari Senckenberg Research Institute di Frankfurt am Main, Jerman.

Jenis katak ini adalah anggota dari famili katak hujan besar yang dalam tahap perkembangannya tak mengalami masa kecebong.

Nama citrinobapheus yang diberikan, dalam bahasa Yunani berarti “pewarna kuning”, didasarkan pada warna kuning yang ditinggalkan pada jari peneliti.

“Kita tak bisa mengatakan bahwa pewarna ini bagus untuk pertahanan dari predator karena kita tak menemukan zat racun di situ,” kata Hertz seperti dikutip Mongabay, Selasa (22/5/2012).

Hertz mengungkapkan bahwa pewarna mungkin saja tak memiliki fungsi apa pun. Namun, bisa juga pewarna memang berfungsi menghalau predator dengan memiliki rasa pahit walau tak beracun.

Sumber :Mongabay

Kura-kura Purba Berukuran Sebesar Mobil


Kura-kura Purba Berukuran Sebesar Mobil

Fosil kura-kura purba seukuran mobil ditemukan di kawasan pertambangan batubara wilayah Kolombia.

Cangkang dari kura-kura dari masa 60 juta tahun yang lalu sanggup menjadi sebuah kolam renang mini. Sementara tengkoraknya berukuran sebesar bola.

“Kura-kura ini merupakan yang terbesar yang pernah ditemukan di area ini dari masa yang sama dan ini memberikan kita bukti pertama adanya kura-kura air tawar raksasa,” ungkap Edwin Cadena, peneliti dari South Carolina State University, AS, yang terlibat riset ini.

Kura-kura purba raksasa itu dinamai Carbonemys cofrinii. Penemuan jenis ini dipublikasikan di Journal of Systematic Palaentology pada Jumat (18/5/2012) lalu.

Kerabat Carbonemys cofrinii yang masuk genus yang sama tapi berukuran lebih kecil hidup sezaman dengan dinosaurus. Carbonemys cofrinii baru muncul 5 juta tahun yang lalu, saat reptil purba merajai. Satwa yang hidup sezaman dengannya adalah Titanoboa cerrejonensis, ular terbesar.

Cadena mengatakan, kura-kura ini bisa berukuran besar karena beberapa faktor, seperti predator yang sedikit, habitat yang lebar, serta ketersediaan makanan yang melimpah. Habitat jenis kura-kura ini kala itu lebih hangat dari sekarang.

Kura-kura biasanya memakan tumbuhan kecil. Namun, dengan ukurannya yang besar, Carbonemys cofrinii mampu memakan mollusca, kura-kura yang lebih kecil dan bahkan buaya.

Sumber : DISCOVERY

Burung Dara-Laut China Terancam Punah


Burung Dara-Laut China Terancam Punah

Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat penting dalam hal keanekaragaman hayati laut dan pantai. Sebagai negara yang memiliki garis pantai nomor dua terpanjang di dunia setelah Kanada, Indonesia menjadi negara potensial untuk persinggahan burung migrasi.

Salah satu jenis burung laut yang melakukan migrasi adalah Dara-laut China (Sterna bernsteini). Burung berukuran 40 sentimeter yang berkembang biak di China ini mengembara dengan menggunakan koridor daratan timur sebagai rute perjalanannya. Wilayah pengembaraannya pernah tercatat hingga ke perairan di sekitar Manila, Serawak, dan Halmahera.

Kegiatan migrasi burung yang ekornya bercabang ke dalam ini setiap tahunnya dimulai sekitar Oktober hingga April. Pada bulan September hingga November, merupakan musim dingin di tempat asalnya. Sehingga mereka melakukan pengembaraan dan baru kembali lagi pada Maret hingga April kala musim semi tiba. Hal utama yang membedakan antara dara-laut China di Indonesia dengan yang berbiak di China adalah dari dahinya yang tampak lebih putih.

Dwi Mulyawati dari Bird Conservation Officer Burung Indonesia, menjelaskan, bahwa dari sekitar 14 jenis dara-laut yang merupakan suku Laridae yang terdapat di Indonesia, dara-laut China merupakan satu-satunya jenis terancam punah. International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan statusnya “kritis”. Secara global, jumlah populasi dara-laut cina sekitar 50 individu dewasa.

“Populasinya yang cenderung menurun diakibatkan semakin berkurangnya habitat alaminya yaitu lahan basah di kawasan pesisir, serta pengambilan telurnya untuk konsumsi yang tersaru dengan jenis telur burung pantai lain” ungkap Dwi, Selasa (22/5).

Di Indonesia, burung yang menyukai laut terbuka dan pulau-pulau kecil ini pernah diketahui berada di kawasan Maluku Utara melalui sebuah spesimen tunggal yang dikoleksi dari Kao, Halmahera, pada 22 November 1861. “Namun sejak saat itu, jenis ini sangat jarang dilaporkan terlihat di perairan Indonesia,” lanjut Dwi.

Di China baru-baru ini ditemukan tempat berkembang biaknya, yaitu di pantai timur China: Zhejiang dan Provinsi Fujian. Di tempat lainnya dia pernah terlihat juga di Serawak (Malaysia), Taiwan, Thailand, dan Filipina. Di Taiwan, dara-laut China terakhir kali terlihat tahun 2000 sebanyak empat ekor dewasa dan empat anakan. Perjumpaan ini terjadi setelah sekitar 63 tahun lamanya tidak pernah terlihat keberadaannya.

Dwi menjelaskan, sekilas burung yang sering bergerombol di perairan lepas pantai maupun daerah pesisir ini memiliki kesamaan dengan dara-laut jambul (Sterna bergii). Namun, burung ini dapat dibedakan melalui cirinya yang memiliki paruh kuning dengan ujung hitam, dahi putih dengan puncak kepala yang tidak seluruhnya hitam, serta ukurannya yang lebih kecil.

Sumber : National Geographic Indonesia

Forum Dunia Gagal Lindungi Harimau


Forum Dunia Gagal Lindungi Harimau

Pada November 2010, Forum Internasional Harimau atau biasa disebut Forum Harimau, mengeluarkan deklarasi pelestarian kucing terbesar di dunia itu. Dipimpin oleh Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin, di St. Petersburg, 13 negara pesertanya sepakat meningkatkan dua kali lipat jumlah harimau di tahun 2020.

Jumlah harimau di tahun 2010 berjumlah 3.200 ekor di seluruh dunia. Dengan target di Forum Harimau, diharapkan jumlah itu akan meningkat menjadi lebih dari 7.000 ekor. Namun, target ini dikhawatirkan gagal tercapai berdasarkan data yang dikeluarkan oleh WWF.

Data menyebutkan, jika 65 persen harimau di dunia masih belum mendapat perlindungan minimum. 41 dari 63 harimau yang dilindungi bahkan tidak bisa melawan pesatnya perburuan yang terjadi di sekitar habitat mereka.

“Sedang dilakukan perkembangan untuk memenuhi target melipatgandakan jumlah harimau. Tapi Pemerintah juga harus serius untuk menghentikan perburuan liar, jika tidak mau semua kerja keras mereka sia-sia,” kata Mike Baltzer sebagai Kepala Tigers Alive Initiative WWF, Senin (21/5).

Sudah tiga spesies harimau yang punah di dunia, dua di antaranya dari Indonesia. Yakni harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau Bali (Panthera tigris balica). Sedangkan satu harimau lagi adalah kaspia (Panthera tigris virgata) yang juga tidak ada lagi di dunia.

Masih tersisa enam subspesies harimau. Namun, dua di antaranya harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) dan harimau China Selatan (Panthera tigris amoyensis), masuk dalam kategori sangat terancam punah dalam daftar International Union for Conservation of Nature (IUCN).

“Dibutuhkan gerakan anti perburuan yang terkoordinir. Ini wajib dilakukan dan diterapkan segera untuk bisa mencegah adanya lagi perburuan,” kata Ravi Singh, Kepala WWF-India.
Sumber: Mongabay, WWF

Cegah Punah, China Beri Makan Lumba-Lumba


Cegah Punah, China Beri Makan Lumba-Lumba

Pihak berwenang pemerintah China telah menambahkan 50 ribu ekor ikan air tawar ke perairan danau Poyang pada pekan lalu. Tujuannya adalah agar lumba-lumba tak bersirip Yangtze (Neophocaena phocaenoides asiaeorientalis) yang tinggal di sana punya sesuatu untuk dimakan.

Dilansir oleh kantor berita Xinhua, sekitar 300 sampai 500 ekor lumba-lumba tak bersirip tinggal di danau Poyang, di kawasan utara provinsi Jiangxi, China. Jumlah tersebut merupakan sepertiga sampai setengah jumlah spesies lumba-lumba tersebut yang masih tersisa di dunia.

Lumba-lumba itu mengalami penurunan drastis atas jumlah populasi mereka, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Secara total, dari perkiraan sekitar 2.700 ekor yang tersisa pada tahun 1991 di seluruh dunia, di tahun 2011 lalu jumlah spesies tersebut hanya tersisa 1.000 ekor saja.

Tahun ini, kondisinya tidak membaik. Sebanyak enam ekor lumba-lumba ditemukan tewas di danau Poyang. Selain itu, ditemukan pula 12 ekor Neophocaena phocaenoides asiaeorientalis (salah satunya betina yang tengah hamil) yang mati di danau Dongting, di kawasan provinsi Hunan. Ironisnya, dari survei yang digelar awal tahun ini, hanya ada 65 ekor lumba-lumba saja di Dongting. Artinya, kematian 12 ekor lumba-lumba di antaranya tentu sangat mengantam populasi spesies, yang sudah sangat kecil itu.

Menurut laporan yang sama, setidaknya masih ada lima ekor lumba-lumba lagi yang mati dan terdampar di sungai Yangtze, sungai yang menghubungkan kedua danau. Secara total, kematian hewan itu mencapai 20 ekor. Meski demikian, World Wide Fund for Nature menyatakan, jumlah kematian lumba-lumba di kawasan tersebut lebih tinggi lagi. Mencapai 32 ekor.

Menurut pakar, kematian lumba-lumba di tempat-tempat yang terpisah tersebut merupakan akibat polusi dan juga permukaan air yang sangat rendah akibat musim kering serta perubahan iklim. Sebagian pakar lain berteori tentang adanya penyakit dan akibat dari digunakannya jaring ikan yang dialiri listrik.

Meski ada lumba-lumba yang tewas akibat baling-baling kapal milik nelayan, banyak di antara lumba-lumba yang tewas itu menunjukkan tanda-tanda kelaparan. Faktor inilah yang mendorong pihak berwajib untuk memasok ikan ke danau Poyang.

Lumba-lumba tak bersirip, dinamai demikian karena mereka hanya memiliki bubungan kecil, bukan sirip vertikal di punggungnya. Selain di China, spesies ikan ini juga bisa dijumpau di perairan lepas pantai Jepang, Korea, dan Indonesia. Tetapi, hanya spesies yang tinggal di Yangtze saja yang mampu hidup di air tawar.

Poyang dulunya merupakan danau air tawar terbesar yang ada di China. Sayang, konstruksi bendungan Three Gorges Dam, serta musim kering yang terus terjadi telah memangkas ukuran luas danau itu sebesar hampir 95 persen dan mengakibatkan rusaknya ekologi di kawasan tersebut.
Sumber: Xinhua

Fosil itu Akhirnya Dinyatakan Mamut Kerdil


Fosil itu Akhirnya Dinyatakan Mamut Kerdil

Gajah prasejarah atau mammoth dengan ukuran terkecil di dunia ditemukan di Pulau Kreta, Yunani. Mammoth yang tingginya tidak lebih besar dari bayi gajah modern ini diperkirakan jadi penghuni pulau tersebut jutaan tahun lalu.

Fosil mammoth ini sebenarnya sudah ditemukan lebih dari seratus tahun. Namun, ukuran tubuhnya yang mungil memancing perdebatan apakah dia gajah biasa atau mammoth. Melalui tes analisa gigi akhirnya diputuskan jika fosil itu lebih dekat dengan garis keluarga mammoth. Tubuhnya yang kecil diperkirakan terjadi karena fenomena ‘pengkerdilan.’

“Pengkerdilan diketahui sebagai respon evolusi mamalia besar terhadap lingkungan pulau di sekitarnya,” ujar paleontolog Victoria Herridge dari Natural Histroy Museum London dalam tulisannya di jurnal Royal Society, Rabu (9/5).

Evolusi ini didorong faktor sulitnya sumber makanan dan tidak adanya predator. Menurut Herrigde, penemuan mereka di Pulau Kreta menyatakan terjadinya pengkerdilan dalam tingkat ekstrem. “Sehingga menghasilkan mammoth terkecil yang pernah ditemukan,” ujarnya.

Hasil studi gabungan peneliti Inggris dan Swedia menyatakan mammoth mulai menghilang dari daratan Eurasia dan Amerika Utara sekitar 10.000 tahun lalu. Namun, sekitar 1.000 mammoth bertahan hingga 6.000 tahun lagi di Pulau Wrangel, Rusia. Gajah prasejarah ini akhirnya punah karena aktivitas manusia.

“Kepunahan akhir (dari mammoth) terjadi karena perubahan besar di lingkungan mereka. Seperti kedatangan manusia atau pun perubahan iklim,” demikian pernyataan hasil studi itu.
Sumber: BBC, UPI Science

Teori Baru Punahnya Dinosaurus


Teori Baru Punahnya Dinosaurus

Dari sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti asal Inggris, disimpulkan bahwa gas metana yang dikeluarkan oleh dinosaurus-lah yang menyebabkan punahnya hewan raksasa tersebut. Menurut kalkulasi, makhluk prasejarah itu telah menghembuskan lebih dari 520 juta ton metana per tahun ke udara. Angka ini cukup untuk menghangatkan planet Bumi dan mempercepat kepunahan mereka sendiri.

Sampai saat ini, hantaman asteroid dan aktivitas vulkanik sekitar 65 juta tahun lalu disebut-sebut sebagai penyebab punahnya dinosaurus. Namun, dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Current Biology tersebut, sauropod raksasa pemakan tanaman merupakan spesies yang dituduh sebagai penyebabnya.

Sebagai gambaran, seekor argentinosaurus berbobot sekitar 90 ton dan memiliki panjang 42 meter, rata-rata mengonsumsi setengah ton tanaman pakis per hari. Dia akan memproduksi banyak metana saat ia menguraikan makanan tersebut di saluran pencernaan, lalu mengeluarkan gas tersebut lewat saluran pembuangan.

Untuk itu, professor Graeme Ruxton dari St. Andrews University, Skotlandia dan peneliti David Wilkinson dari Liverpool John Moores University, coba menghitung seberapa banyak gas rumah kaca yang diproduksi oleh miliaran ekor dinosaurus sepanjang era Mesozoikum yang dimulai 250 juta tahun lalu.

“Menggunakan model matematika sederhana, diketahui bahwa mikroba yang tinggal di dalam tubuh dinosaurus sauropod telah memproduksi metana dalam jumlah yang cukup untuk menghadirkan efek signifikan bagi iklim era Mesozoikum,” kata Wilkinson. “Bahkan, perhitungan kami mengindikasikan bahwa dinosaurus ini menghasilkan metana jauh lebih banyak dibandingkan dengan gabungan seluruh metana yang diproduksi oleh alam dan manusia masa kini,” ucapnya.

Produksi metana para dinosaurus yang mencapai 520 juta ton per tahun sebanding dengan emisi gas rumah kaca produksi alam dan akibat ulah manusia saat ini. Jumlahnya, menurut para peneliti, sekitar 21 kali lebih kuat dibandingkan dengan CO2 dalam memerangkap suhu panas di permukaan Bumi dan menyebabkan perubahan iklim. Sebagai perbandingan, sapi dan hewan-hewan ternak yang ada di seluruh dunia saat ini hanya memproduksi 100 juta ton metana per tahun.
Sumber: FoxNews

Satu dari 10 Ribu Kupu-kupu Waria


Satu dari 10 Ribu Kupu-kupu Waria

Seandainya kupu-kupu ini memiliki sayap pink dan biru, tentu akan lebih mudah mendeteksi dia memiliki dua kelamin. Pada kondisi normal kupu-kupu Papilio rumanzovia betina memiliki sayap pink, sedangkan jantan bersayap biru.

Kupu-kupu banci ini sangat langka. Lahir dengan dua jenis kelamin jantan dan betina. Serangga menakjubkan ini bernama gynandromorph. Sisi pink mewakili sisi jantan dan putih bagian betina.

Fenomena alamiah paling langka. Hanya 0,01 persen kupu-kupu dilahirkan sebagai gynandromorph. Artinya, hanya ada 1 dari 10 ribu. Kondisi ini disebabkan kegagalan pemisahan kromosom seks selama proses pembuahan.

Binatang ini ditemukan pada Proyek Butterfly World (Dunia Kupu-kupu) di Chiswell Green, Hertfordshire, Inggris. Seorang pelajar yang sedang berdarmawisata melihat sosoknya.

Pemimpin Butterfly World, Louise Hawkins mengatakan, “Saya sangat senang telah menyaksikan fenomena langka ini di Butterfly World, terutama karena terjadi pada awal karir saya.”

“Banyak pakar lepidoptera tidak memiliki kesempatan melihat gynandromorph selama karir mereka. Saya merasa sangat beruntung,” ujar kepala ahli lepidoptera ini di Butterfly World seperti dilansir dari Dailymail.co.uk.

Sayangnya, kupu-kupu langka ini lahir dengan tanpa belalai yang terbentuk sepenuhnya dan tabung untuk menyerap makanan. Kupu-kupu  ini pun telah mati. Tapi, binatang ini akan diawetkan untuk penelitian lebih lanjut.